Kabar WeWork, perusahaan penyedia layanan fleksibel workspace, mengajukan kebangkrutan beberapa pekan lalu menjadi pembicaraan hangat bagi para profesional. Padahal sebelumnya perusahaan ini pernah menjadi startup Amerika Serikat paling berharga dengan nilai valuasi mencapai 47 miliar USD. Investornya juga tidak main-main, termasuk di antaranya adalah SoftBank, Benchmark hingga bank besar Wall Street, JPMorgan Chase. Apakah masa depan kerja hybrid masih cerah melihat fenomena ini?
Bagi yang belum tahu, layanan yang didirikan pada 2010 ini merevolusi pasar perkantoran dengan mengambil properti dengan penyewaan jangka panjang dan memasarkannya kembali ke beberapa bisnis kecil dengan kesepakatan yang lebih pendek dan disebut memicu disrupsi di bisnis penyewaan ruang perkantoran.
Dan dengan pengajuan kebangkrutan yang diajukan perusahaan yang didirikan oleh Adam Neumann, Rebekah Neumann dan Miguel McKelvey, apakah ini berarti masa depan workspace yang fleksibel buram? Well, kita tidak bisa langsung menyalahkan pasar. Bahkan jika melihat tren yang terjadi saat ini, kerja hybrid sudah menjadi gaya hidup hampir semua orang. Malahan, masa depan kerja hybrid sangat cerah jika dilihat dari berbagai aspek, termasuk produktivitas dan efektifitas.
Masa depan kerja hybrid, model yang harus dipertahankan!
Sejak periode pandemi COVID-19, banyak perusahaan yang menerapkan system kerja hybrid. Saat itu, sistem kerja seperti ini diharapkan hanya akan berjalan selama periode pandemi. Faktanya, sebagian besar karyawan menilai sistem kerja hybrid menjadi lifestyle yang harus dipertahankan. Bukan tanpa alasan jika para karyawan ingin lifestyle ini dipertahankan. Karena secara produktivitas dan efisiensi, gaya hidup kerja hybrid menguntungkan, tidak hanya bagi perusahaan tapi juga bagi karyawan itu sendiri.
Dari sudut pandang karyawan, bekerja secara hybrid membuat para pekerja bisa berhemat ketimbang harus bekerja di kantor. Survei yang dilakukan Owl Labs menegaskan hal tersebut. Pekerja hybrid mengatakan mereka bisa berhemat rata-rata 51 USD per hari. Jumlah tersebut lebih besar 36 USD per hari jika harus bekerja secara remote. Biaya harian yang harus dikeluarkan antara lain 8 USD untuk parkir, 13 USD untuk sarapan dan kopi, 16 USD untuk makan siang dan 14 USD untuk perjalanan. Jumlah biaya harian tersebut bisa meningkat hingga 20 US jika harus meninggalkan rumah dan hewan peliharaan mereka.
Bukan hanya masalah perjalanan dan biaya makanan saja yang jadi pertimbangan para karyawan untuk memilih bekerja secara hybrid. Jumlah anggaran juga bisa membengkak ketika harus mempertimbangkan berbelanja pakaian dan make up.
Masa depan kerja hybrid cerah, jadi pilihan banyak perusahaan
Apakah perusahaan tidak diuntungkan dengan gaya hidup kerja hybrid ini? Tentu saja. Selain produktivitas meningkat, perusahaan juga bisa meminimalkan biaya pengeluaran rutin. Perusahaan bisa menghemat dalam penyediaan ruang untuk pekerjanya, mengurangi belanja peralatan dan biaya lainnya.
Perlu bukti? Dropbox adalah salah satu perusahaan besar di Amerika Serikat yang mengurangi jumlah ruangan kerja mereka di San Fransisco. Tak tanggung-tanggung, untuk meminimalkan pengeluaran yang tidak perlu, Dropbox sampai rela membayar biaya pembatalan kontrak sebesar 79 juta USD untuk tidak lagi menggunakan ruang kerja seluas 165 ribu meter persegi di Mission Bay di San Fransisco.
Sebagai gantinya, Dropbox mendukung budaya kerja hybrid untuk karyawannya. Perusahaan teknologi ini mengusung sistem kerja 90% bekerja secara remote dan 10% lainnya dilakukan di kantor untuk kepentingan koordinasi dan konsolidasi.
Perusahaan lain yang juga menggunakan sistem kerja hybrid adalah Meta dan Amazon. Perbedaannya, karyawan masih harus bekerja setidaknya tiga hari dalam sepekan di kantor yang mereka miliki.
Sejumlah perusahaan asal Indonesia juga mendukung gaya hidup kerja hybrid. Beberapa startup di bidang pendidikan seperti Zenius, Sekolahmu, Binar dan Quipper sudah menerapkan gaya bekerja hybrid. Pun demikian dengan beberapa start-up e-commerce seperti Sayur Box, Fazzfinancial, Mekari hingga Sirclo.
Dari penjabaran di atas, sudah bisa disimpulkan bahwa masa depan kerja hybrid sangatlah terang. Bahkan kerja hybrid tidak lagi dilihat sebagai fenomena yang bakal terjadi di masa depan, tapi sudah menjadi tren kekinian.
Namun, ada proses tersendiri beralih dari sistem kerja konvensional ke hybrid. Jika tidak dijalani dengan seksama, bukan kerja produktif yang didapat, melainkan hasil yang kurang memuaskan dalam berbagai sudut pandang. Untuk itu, ada kunci khusus untuk bisa melakukan transisi mulus ke kerja hybrid.
1. Di mana karyawan bekerja?
Sebelum pandemi, karyawan yang bekerja secara remote bisa dikatakan sangat minim jumlahnya. Hasil penelitian yang dilakukan Gallup, jumlah karyawan yang bisa bekerja secara remote dan eksklusif jumlahnya hanya 8% dari 140 ribu pekerja di Amerika Serikat. Sedangkan sepertiganya melakukan sistem hybrid work arrangement.
Saat pandemi menghantam, hampir semuanya bisa bekerja secara remote dari rumah, di mana 70% bekerja secara eksklusif jauh dari kantor pada Mei 2020. Hingga Februari 2022, mayoritas masih menerapkan work from anywhere. Dari hasil penelitian yang sama, jumlah karyawan yang menginginkan pengaturan kerja hybrid mencapai 52% dan 24% berharap bisa bekerja sepenuhnya secara remote.
Hasil di atas menunjukkan bahwa mayoritas karyawan mendukung gaya hidup hybrid work. Saat ini sembilan dari 10 karyawan yang bisa bekerja secara remote berharap bisa mengedepankan fleksibilitas dalam bekerja, dan enam dari 10 karyawan lebih memilih bekerja hybrid.
2. Bagaimana jika perusahaan tidak mendukung lifestyle hybrid work?
Ada kekhawatiran tersendiri bagi perusahaan jika sistem kerja hybrid memengaruhi produktivitas. Namun, pada prinsipnya, perusahaan mendukung kerja remote. Kompromi dan negosiasi diambil sebagai jalan tengah, termasuk di antaranya terkait hybrid work arrangement. Jika tidak, terjadi pertentangan antara perusahaan dan karyawan, yang berakibat pada penurunan produktivitas.
Perusahaan harus menjadikan tempat kerja yang berkembang dan mendukung produktivitas, juga menyenangkan. Caranya dengan melibatkan karyawan membentuk komitmen holistik dan tanpa henti dalam bentuk kesejahteraan, manajer yang luar biasa, dan budaya perusahaan yang kuat. Kegagalan menawarkan pengaturan kerja yang fleksibel memunculkan risiko yang signifikan terhadap perekrutan, keterlibatan karyawan, kinerja, kesejahteraan, dan strategi retensi perusahaan itu sendiri.
3. Alasan mengapa banyak karyawan yang memilih hybrid work
Salah satu alasan terbanyak yang diberikan karyawan memilih hybrid work adalah menghindari momentum perjalanan dari rumah ke kantor, dan sebaliknya. Mereka yang mendukung kerja hybrid tak ingin dibuat tergesa-gesa oleh proses tersebut. Alasan lain adalah bekerja secara hybrid diklaim lebih mendukung semangat work-life integration. Fleksibilitas juga menjadi alasan pendukung.
Namun perlu dicatat juga bahwa empat dari 10 karyawan berpendapat, memiliki pengalaman bertemu dan berdiskusi dengan teman kantor juga perlu dilakukan. Dengan begitu, keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan personal tetap terjaga, yang berimbas pada produktivitas dan efektivitas kerja.
Masa depan kerja hybrid, tantangan dan perkembangannya
Mengatakan perusahaan Anda adalah tempat kerja hybrid jauh lebih mudah dibandingkan menciptakan tempat kerja hybrid yang benar-benar efektif. Tidak diragukan lagi, gaya hidup kerja hybrid akan lebih menantang bagi para manajer dibandingkan cara kerja mereka yang lama. Fleksibilitas bagi pekerja membuat koordinasi menjadi sulit. Pekerja jarak jauh bisa merasa diabaikan. Persyaratan teknologi harus berubah. Dan pekerjaan hybrid menimbulkan pertanyaan mengenai kepercayaan, akuntabilitas, dan bagaimana cara mengukur produktivitas, bahkan kesetaraan dan akses terhadap peluang.
“Hybrid” bukan sekadar jadwal kerja atau tunjangan karyawan. Ini lebih kepada cara bekerja sama yang benar-benar baru.
Menciptakan pengalaman kerja hybrid yang luar biasa akan bermanfaat, jika Anda bekerja keras untuk mewujudkannya. Kita sudah melihat manfaatnya bagi mereka yang melakukan hal ini sebelum pandemi dan masih menjalaninya saat ini. Tim hybrid yang dipimpin secara luar biasa cenderung memiliki karyawan yang lebih terlibat, interaksi yang lebih bermakna, dan, fleksibilitas yang lebih baik. Semua sepertinya harus setuju, bahwa masa depan hybrid work tidak lagi jauh di depan mata, tapi sudah menjadi fenomena kekinian, yang tidak boleh lagi dipandang sebelah mata.
Deskimo menawarkan solusi untuk menyambut masa depan kerja hybrid
Deskimo memiliki semua hal yang dibutuhkan untuk mendukung kerja hybrid, tanpa harus mengorbankan produktivitas. Malahan, banyak fitur dan layanan yang bisa mendukung perusahaan untuk mengikuti tren kerja hybrid.
Layanan FlexiOffice misalnya, yang mendukung gaya kerja hybrid yang fleksibel. Aplikasi Deskimo juga menjadi platform untuk mencari dan memesan ruang kerja yang disesuaikan dengan kebutuhan Anda. Fitur Workplace Management System juga memungkinkan perusahaan untuk mengelola semua aspek lingkungan kerja, pekerja, dan aset digital dari platform yang terpusat. Sistem ini juga bisa membantu perusahaan meningkatkan produktivitas, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya, dan menciptakan tenaga kerja yang lebih terhubung.
Jadi, tidak ada lagi alasan untuk tidak mendukung kerja hybrid karena semua tools yang dibutuhkan tersedia di Deskimo. Jadi, tunggu apa lagi, jadilah bagian dari Desimo sekarang juga!