Apakah work life balance (keseimbangan kehidupan-kerja) hanya mitos belaka? Sudah 2 tahun kita hidup dengan berbagai pembatasan akibat pandemi. Ditambah lagi ada ketidakpastian kapan new normal berjalan dengan hidup damai berdampingan dengan COVID-19. Di sisi profesional, kita harus berusaha lebih keras untuk memisahkan mana waktu pekerjaan dan kehidupan pribadi. Bayangkan Anda harus melakukan rapat via Zoom, sementara di sekitar Anda dipenuhi suara anak, hewan peliharaan, atau mungkin mesin cuci.
Kalau misalnya work life balance itu benar ada, bagaimana cara mewujudkannya? Bagaimana Anda bisa menetapkan jumlah yang adil untuk pekerjaan dan kehidupan pribadi Anda? Definisi dari keseimbangan kehidupan-kerja adalah pembagian waktu antara pekerjaan dengan waktu untuk teman, keluarga dan diri sendiri. Menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi merupakan tantangan nyata.
Ada 3 faktor yang mempengaruhi work life balance seseorang
1. Perubahan di lingkungan kerja
Adaptasi dengan kemajuan teknologi
Seiring berkembangnya teknologi, metode kerja pun menjadi berubah. Hal ini menimbulkan tekanan yang lebih besar untuk pekerja. Beberapa orang mengenalnya dengan istilah technostress.
Technostress merupakan stres yang disebabkan oleh kesulitan pekerja dalam beradaptasi dengan teknologi komputer. Artinya, pekerja harus mempelajari teknologi baru agar dapat mempertahankan pekerjaannya agar tetap relevan.
Deadline menjadi lebih pendek
Sejalan dengan berkembangnya teknologi yang begitu cepat, deadline pekerjaan pun dibuat semakin pendek. Tidak jarang tekanan akan deadline ini membuat pekerja menghabiskan waktu lebih lama untuk bekerja dalam sehari. Hal ini mengakibatkan kegiatan Anda di luar kerja akan terganggu karena cepat lelah.
Ekspektasi dalam komunikasi
Jarak antar manusia sekarang hanya sejauh genggaman tangan melalui gadget. Para pebisnis memiliki ekspektasi bahwa para pekerjanya mampu menjawab komunikasi terkait pekerjaan kapan saja. Fenomena ini mengaburkan batasan antara mana yang waktu kerja dan waktu pribadi. Ditambah lagi dengan sanksi sosial yang diberikan apabila gagal untuk merespon dengan cepat.
2. Perubahan gaya hidup
Banyaknya perubahan yang terjadi pada lingkungan kerja tentu sangat berdampak pada perubahan hidup pekerja. Kini working from anywhere menjadi pendekatan gaya kerja yang populer yang dilakukan perusahaan. Gaya kerja fleksibel ini terlihat menjadi sebuah win-win solution bagi perusahaan dan pekerjaan.
Di dunia yang ideal, seharusnya kita bisa membaginya ke dalam 3 bagian. Ada 8 jam untuk tidur, 8 jam kerja, dan 8 jam untuk kehidupan pribadi. Pada kenyataannya, banyak yang berkata bahwa 24 jam tidak cukup. Hari yang dimulai dari terbangun dari tidur yang singkat, kemudian ambil beberapa momen untuk membangunkan diri. Setelah itu bersiap bekerja sambil mengurus hewan peliharaan Anda. Kemudian waktu lainnya digunakan untuk membersihkan rumah dan menyiapkan area kerja. Sentuhan terakhir, menyiapkan sarapan sebelum akhirnya mulai bekerja.
Di tengah-tengah waktu produktif, ada kalanya perhatian terpecah. Ada momennya dikagetkan dengan suara konstruksi di rumah tetangga. Ada suara kendaraan yang memicu gonggongan anjing di sepanjang gang. Distraksi seperti ini akan memutus fokus yang sudah terbangun. Hal ini yang nantinya akan menarik waktu lebih panjang untuk bekerja.
Kecenderungan pekerja untuk overwork sangatlah tinggi dalam kasus ini. Hal ini tentu memicu kualitas kerja dan kualitas hidup yang menurun. Inilah yang nanti mendorong terjadinya mental burnout. Tidak hanya perlu diatasi namun, mental burnout sebaiknya dicegah sebelum terjadi. Tujuannya agar produktivitas dan mental health tetap terjaga.
3. Perubahan perilaku
Perbedaan generasi dan zaman menuntun pada perbedaan perilaku. Dulu, pekerja cenderung menghabiskan masa produktif mereka hanya pada satu perusahaan saja. Saat ini, pindah-pindah perusahaan merupakan hal yang wajar terjadi. Pekerja cenderung pindah dari satu perusahaan ke lainnya dalam kurun waktu 1-3 tahun. Singkatnya, pekerja saat ini mempertimbangkan aspek-aspek dinamis dalam hidup mereka yang tidak membutuhkan komitmen yang panjang.
Mitos tentang work life balance
- Pekerjaan dan kehidupan pribadi dapat dipisahkan
Tidak semua jenis pekerjaan dapat dipisahkan dengan kehidupan pribadi. Jika Anda merupakan pengusaha tentu banyak aspek bisnis Anda yang harus dikerjakan diluar jam kerja. Sebaliknya, banyak waktu pribadi Anda yang juga bercampur dengan bisnis Anda.
Bagi remote worker, memisahkan kehidupan pribadi dan pekerjaan merupakan tantangan tersendiri. Ketika bekerja di rumah pasti akan ada saat dimana pekerjaan rumah harus diselesaikan. Belum lagi jika ada hal urgent lain yang membuat Anda harus menggeser waktu kerja. Kebebasan akan mengatur dan menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan memberikan kesempatan untuk membentuk harmoni antara keduanya.
- Waktu paling banyak dihabiskan untuk bekerja
Ada anggapan bahwa pekerja memiliki kecenderungan terlalu mendedikasikan waktu dan energi mereka pada pekerjaan. Kita paham bahwa sumber daya seperti energi, waktu dan motivasi kita terbatas. Akibatnya sumber daya tersebut akan tersisa sedikit untuk digunakan di kehidupan pribadi hari itu. Mirisnya, itulah pertukaran yang harus dilakukan untuk bisa menikmati kehidupan saat ini.
- Bekerja memicu stres dan ketidakbahagiaan
Di pekerjaan manapun baik yang merupakan bagian dari passion atau bukan, pasti ada hal yang kita sukai dan tidak. Di sisi lain, mendapat pekerjaan yang baru juga bukanlah hal yang mudah. Tantangan pekerjaan sesungguhnya adalah bagaimana kita bisa mencintai apa yang kita kerjakan. Nikmati dan syukuri apa yang Anda lakukan saat ini. Jika Anda dapat bahagia dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi mengapa tidak?
Realita work life integration yang dirasa relevan
Pendapat akan cara mewujudkan work life balance sangatlah variatif. Faktor yang mempengaruhi seseorang dapat mencapai work life balance adalah perasaan cukup. Bagi beberapa orang merasa bahagia dalam bekerja ketika mereka dapat memaksimalkan potensinya. Terlepas dari selelah apapun mereka dalam bekerja, namun hal itu memberikan rasa puas tersendiri. Sebagian orang lainnya merasa bahwa work life balance dapat tercapai ketika pekerjaan dan kehidupan pribadi rendah konflik.
Kini work life integration dirasa lebih relevan dengan gaya hidup di zaman ini. Hal ini berbeda dengan work life balance yang baru tercapai apabila pekerjaan dan kehidupan personal berjalan berdampingan secara terpisah. Fokus work life integration adalah bagaimana kita membentuk sinergi antara pekerjaan dan kehidupan. Konsep ini tidak mengkotak-kotakkan mana waktu kerja dan pribadi. Sebaliknya, work life integration menawarkan fleksibilitas karena melihat seluruh aktivitas sebagai bagian dari satu kesatuan. Hal ini selaras dengan flexible working arrangement dimana pekerja dapat menentukan waktu terbaik untuk mereka bekerja.
Work life integration tercapai ketika bekerja di lingkungan kerja yang flexible
Flexible workspace dapat menjadi pilihan dalam pendekatan work from anywhere. Dengan mengakses aplikasi Deskimo di smartphone, pekerja dapat menggunakan flexible workspace dari berbagai pilihan 40+ coworking space dan serviced office rekanan. Hal ini memberikan Anda keleluasaan dalam memilih tempat kerja. Dan membuka peluang untuk dapat bekerja dengan rekan kerja dan teman yang tidak satu kantor. Ketika Anda ingin bekerja Anda dapat memulainya kapan saja, begitu pula ketika ingin bersantai atau berbincang santai.
Dengan Deskimo, Anda dapat menemukan banyak pilihan flexible workspace terdekat. Tersedia banyak fasilitas yang mendukung suasana kerja yang santai dan fleksibel. Sewa workdesk dan meeting room sesuai waktu penggunaan saja, sehingga tidak ada biaya terbuang sia-sia.